Januari 12, 2018
Salah satu cara yang digunakan RER untuk membantu masyarakat setempat ialah dengan mendorong produksi hasil hutan bukan-kayu. Pada bulan Desember 2017, Brad Sanders, Kepala Operasional RER, pergi ke Dusun Sangar di Desa Pulau Muda di Teluk Meranti untuk menyaksikan warga dusun tersebut mengambil madu dengan cara-cara yang memperhatikan aspek kelestarian, proses yang juga didukung RER untuk membantu warga setempat menambah pemasukan mereka.
Setelah menempuh perjalanan dengan helikopter, mobil, dan berjalan kaki melintasi hutan gambut, Brad bertemu dengan Pak Sadam, pengunduh madu yang sudah turun-temurun sekaligus pemimpin kelompok pencari madu yang beranggotakan 12 orang. Brad menceritakan kisahnya sebagai berikut.
“Saat kami berjalan di bawah terik matahari siang, keringat mengucur deras membasahi tubuh karena area yang kami lalui begitu lembap, yang bahkan teduhnya perkebunan karet masyarakat di sekeliling kami tidak mampu menahannya. Kami bergerak cepat menapaki jalur yang sudah dilewati warga sekitar berkali-kali diatas tanah gambut yang lembap dan lunak. Kami terus masuk ke dalam hutan, kini mengikuti jalur yang baru dibuka yang mengarah ke pohon tempat sarang madu yang akan diambil berada. Lantai hutan jalur yang kami lalui penuh dengan kayu-kayu besar, semak bergetah, pohon berduri, akar pohon yang tertutup daun di lantai hutan, dan cabang-cabang pepohonan yang saling-silang, serta lubang-lubang gambut yang dalam dan basah yang kerap membenamkan kaki kami ke dalam tanah berlumpur hingga sebatas lutut. Kami bergerak pelan mengarah ke tujuan, dan Mahendra, rekan saya, akan beberapa kali ‘memanggil’ ke para pengambil madu yang ada jauh di dalam hutan untuk memastikan lokasi mereka sekaligus memberitahukan kedatangan kami.
Saat kami tiba di tujuan, kami disambut oleh sekelompok pria yang sedang menyiapkan tiang kayu, ikatan penahan, dan tali rotan untuk membuat tangga menuju puncak pohon sialang madu, nama yang umum dipakai untuk menyebut pohon tempat mengunduh madu, yang berdiameter lebih dari dua meter di bagian pangkal pohon dan dengan ketinggian 60 meter. Pohon yang madunya malam ini akan diambil oleh warga setempat dikenal dengan nama Pulai rawa (Alstonia pneumatophora). Mereka tersebut sudah membersihkan semak dan tanaman dalam radius lima meter di seputar pangkal pohon, menyingkap ‘akar napas’ pohon yang memang banyak dijumpai pada pepohonan di lahan gambut yang tergenang air.
Salah satu pria mengupas rotan menjadi semacam tali pengikat yang tipis dan lentur sepanjang tiga meter; sebagian lainnya memotong dan menyiapkan galah panjat sepanjang 5-10 meter yang didapat dari pohon di seputar hutan; dua pria sudah memanjat pohon dan mengaitkan tiang-tiang galah ke sisi pohon ikonis tersebut, berteriak ke pria-pria lainnya yang ada di bawah untuk meneruskan bahan-bahan lainnya ke arah mereka. Di titik ini, tangga panjat hanya mencapai cabang-cabang yang paling rendah yang menjadi tempat sarang lebah pertama yaitu di ketinggian kurang-lebih 30-35 meter dari permukaan tanah. Pemanjangan tangga hingga ke cabang-cabang yang ada di puncak pohon dilakukan setelah malam tiba, dalam gelap tanpa bantuan pencahayaan, sehingga pemanjat bisa terhindar dari sengatan lebah. Pak Sadam berdiri tegak di pinggiran hutan, sabar mengamati pria-pria tersebut bekerja, dan ia lantas bercerita bahwa ayahnya menamai dua pohon yang ia kenal paling baik, “Pohon ini dinamai ‘Petodak’ dan satu pohon lagi dekat sini dinamai ‘Botak’. Saya tidak tahu kenapa namanya seperti itu, tapi memang sudah selalu seperti itu”. Ia kemudian memandang ke atas dan menyebut bahwa banyaknya madu yang nanti bisa diambil diperkirakan mencapai sekitar 250 kg. Ia mengatakan bahwa semua orang tahu bahwa pohon ini adalah pohonnya, dan setiap tiap orang menghormati hal tersebut sehingga tidak akan mengambil madu dari pohon ini, karena kalau tidak mereka akan dikenakan denda sebesar Rp 4 juta oleh kepala desa. Kami semua kemudian istirahat sore, menanti tibanya malam.
Jam saya menunjukkan pukul 7 malam ketika kelompok pria ini mulai kembali bergerak, menggarap tangga agar bisa mencapai puncak. Salah satu pria membawa dua gulungan kulit kayu sepanjang 1,5 meter yang ujungnya akan dibakar menjadi obor dan digunakan sebagai penghalau lebah dari sarangnya ketika pemanjat naik ke atas pohon.
Jam menunjukkan pukul 10.30 malam ketika kami mendengar salah satu pria berteriak “Siap, langsung naik!”. Kegelapan menyelimuti kami semua karena semua lampu dan cahaya dari ponsel harus segera dimatikan. Hanya terang bintang yang bisa terlihat di sela-sela kanopi hutan. Keheningan yang mendadak menerpa begitu mengejutkan, memekakkan, dan menjadikan waktu dua sampai tiga menit terasa begitu lama. Tiba-tiba salah satu pria melagukan nyanyian dalam bahasa tradisional melayu, yang terdengar berbeda dari bahasa Indonesia biasa, dalam nada suara tenor yang begitu dalam dan penuh tenaga. Hal ini berjalan 10 menit, sambil tangan si penyanyi memegang erat bagian pangkal pohon berganti-ganti dengan galah panjat, dan memandang ke arah atas tempat madu berada.
Pada saat yang sama, seorang pria lainnya mulai membakar salah satu ujung tongkat gulungan kulit kayu, kemudian mengayun dan meniup ke arah apinya untuk membentuk bara dan asap yang terus menyala. Akhirnya salah satu pemanjat menyalakan lampu sorotnya, memunculkan bayang-bayang pemanjat lainnya. Pemanjat kedua menjulurkan tangannya satu per satu dengan telapak yang terbuka lebar pada jarak beberapa sentimeter dari pohon, dengan tidak menyentuh pohon, memunculkan bayang-bayang. Kemudian satu per satu kakinya diangkat dari tanah, dengan telapak polos dan tanpa alas kaki dijulurkan ke arah batang pohon pada jarak beberapa sentimeter, dengan tidak menyentuh pohon, memunculkan bayang-bayang. Upacara tersebut akhirnya selesai.
Kedua pria tersebut mengalungkan ikatan di sekeliling bahu mereka, yang mengait obor yang tengah menyala. Mereka tegap dan gesit memanjat pohon bagaikan bajing. Mereka akhirnya menjauh dari permukaan tanah gambut, menghilang ke arah atas yang gelap, dengan masih melagukan nyanyian tradisional yang dipercaya akan mendatangkan kekuatan, keyakinan, dan hasil baik bagi mereka.
Kami disarankan untuk menjauh, karena bertahan di bagian bawah pohon justru akan membahayakan karena bara api yang jatuh dan bagian-bagian dari sarang lebah. Saat para pemanjat bekerja dan melagukan nyanyiannya dari atas, bara api mulai menghujani permukaan tanah hutan yang basah. Pria-pria tersebut menggunakan obor mereka untuk menghalau lebah. Tiba-tiba terdengar suara lebah terbang menjauh dari sarangnya, suaranya begitu masif seolah ada di sekeliling kami. Suara yang kami dengar sungguh menakutkan meski kami jauh di permukaan tanah, namun kami sadar bahwa posisi kami aman karena lebah-lebah tersebut berada jauh di ketinggian sedangkan kami ada di tengah gelapnya malam.
Setelah beberapa menit, kedua pemanjat meneriakkan sesuatu, dan pria-pria lainnya segera menaikkan ember plastik ukuran 20 liter menggunakan tali nilon. Dengan segera ember tersebut kembali diturunkan, dan salah satu pria yang ada di bawah membawa ember tersebut, yang masih terlilit tali, ke arah saringan kasar yang jaraknya 10 meter dari situ.
Semangat dan antisipasi sepanjang persiapan kini telah mencapai titik akhir. Dalam waktu sekitar satu jam, madu pertama berhasil diperoleh, madu – madu – madu! Madu dari ember kemudian dituang ke saringan kasar, dikelilingi setidaknya enam pria. Tiap orang segera memecah-mecah kepingan sarang lebah untuk mencicipi madunya, sebagian berseru “manis”, lainnya berseru “asam”. Potongan besar sarang lebah yang masih mengandung lilin, lebah yang mati dalam proses ini mati, bersama dengan nektar yang manis, halus, dan lezat disaring dengan saringan yang terbuat dari rotan, ditampung di lembaran nilon, kemudian perlahan dialirkan ke wadah plastik besar berukuran 30 liter. Pria-pria ini menggunakan tangan mereka untuk memeras madu dari sarang yang masih mengandung lilin, secepat dan sebanyak mungkin. Hasil pertama ini menghasilkan sekitar 8-10 kilogram madu. Beberapa menit kemudian hasil berikutnya tiba, dan semangat kerja masih terus menyala. Setelah beberapa jam mengikuti proses penuh semangat ini, saya melihat jam yang menunjukkan sudah pukul 4.30 pagi. Segenap kerja keras dan penuh keseruan ini menghasilkan lebih dari 150kg madu.
Saya beranjak meninggalkan lokasi dengan hati yang membuncah karena mendapatkan pengalaman luar biasa menyaksikan dan mempelajari tradisi dan praktik pengambilan madu. Saya menyampaikan ucapan terima kasih saya kepada mereka satu per satu atas pengalaman yang saya peroleh. Sebelum kami berpisah, mereka mendesak kami untuk membawa sebagian madu yang sudah diambil. Kami lantas membersihkan beberapa botol plastik yang telah kami pakai dan mengisinya dengan madu hingga penuh, karena salah seorang mengatakan, “Kalau bawa malam ini juga, gratis, tapi kalau besok harus bayar!”