Januari 30, 2019
Restorasi Ekosistem Riau (RER) kini telah mencatat sebanyak 757 spesies tanaman dan satwa yang ada di Semenanjung Kampar per bulan Juni 2018.
Hal ini berdasarkan hitungan keanekaragaman hayati RER sebelumnya yang mencapai 519 spesies, yang terdokumentasi dalam laporan Keanekaragaman Hayati Semenanjung Kampar yang terbit pada November 2016 setelah dilakukannya studi lapangan oleh mitra kerja RER, yaitu Fauna & Flora International (FFI) di tahun 2015. Angka baru ini diperoleh dari kegiatan pemantauan keanekaragaman hayati yang terus dilakukan oleh tim lapangan RER, pemanfaatan kamera jebak, dan survei okular.
Dibentuk oleh Grup APRIL pada tahun 2013, RER merupakan program restorasi ekosistem yang bertujuan melindungi, memulihkan, dan melestarikan hutan rawa gambut yang memiliki nilai ekologi penting yang ada di Provinsi Riau, Indonesia. Program ini meliputi hutan seluas 150.000 hektar – area yang luasnya dua kali luas Singapura.
Dari 757 spesies yang sejauh ini berhasil diidentifikasi, sebanyak 304 spesies merupakan burung, 107 amfibi dan reptil, 71 mamalia, dan 89 ikan. Sisanya sebanyak 186 spesies merupakan spesies tanaman. Spesies baru yang diidentifikasi dalam enam bulan terakhir turut mencakup Elang Kelabu, burung Paok Sayap Biru, dan burung Kowak Melayu.
Temuan lebih lanjut yang menarik ialah rusa Sambar. Survei FFI di tahun 2015 hanya berhasil mendapat satu penampakan langsung atas satwa yang sulit dijumpai ini, dan selain itu juga mencatat keberadaan satwa ini melalui penemuan jejak kakinya. Akan tetapi kamera perangkap RER berhasil menangkap lebih banyak gambar satwa rusa bertubuh besar dan anggun ini.
RER juga merupakan rumah bagi spesies kucing liar yang oleh IUCN digolongkan sebagai spesies yang terancam (endangered). Macan Dahan Sunda – spesies kucing besar di RER – terdeteksi berpindah-pindah dengan berpasangan, dan saat ini tengah dilakukan penelitian sebagai verifikasi apakah pasangan ini adalah saudara sekandung atau pasangan jantan dan betina. Dari 757 spesies yang telah diidentifikasi, 48 di antaranya digolongkan sebagai spesies yang terancam di tingkat global, termasuk Harimau Sumatra dan Trenggiling Sunda yang berstatus kritis.
Pemantauan satwa liar
Staf teknis RER, Muhammad Iqbal dan Prayitno Goenarto, menjelaskan bahwa kamera jebak sangat membantu identifikasi banyak spesies yang ada di RER.
“Sulit untuk bisa mendapat kesempatan observasi satwa secara langsung, karena mereka ini hewan malam atau dengan mudah menyembunyikan diri dari manusia.
“Dengan perangkap kamera dan tanpa kehadiran kami di lokasi, hewan-hewan tersebut bisa berperilaku secara alami – mereka menjadi tidak takut atau tidak menghindari apa pun,” ujarnya.
Kamera jebak, dengan baterai yang bisa bertahan hingga dua bulan, dipasang untuk kurun waktu tertentu.
“Kami menargetkan sekitar 1500 hari untuk tiap area administratif RER. Jika kami punya 30 kamera, berarti diperlukan pemasangan kamera di lapangan selama 50 hari. Setelah 50 hari, kami akan kembali ke lokasi dan mengumpulkan kamera tersebut, lantas melihat satwa apa yang tertangkap gambar oleh kamera,” Iqbal menjelaskan.
Namun demikian, ada beberapa satwa yang umumnya memang sulit terdeteksi, termasuk hewan arboreal (hewan yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di pepohonan) seperti monyet atau tupai, ia menambahkan.
Langkah berikutnya
Terkait rencana ke depan, Prayitno mengatakan bahwa RER berencana meluncurkan materi terbitan paling tidak dua kali per tahun tentang semua topik yang relevan dengan kegiatan di RER, termasuk aspek sosial dan kemasyarakatan, kegiatan restorasi, dan keanekaragaman hayati. Hal ini sebagai kelanjutan dari daftar burung beranotasi yang terbit tahun lalu, dan laporan Mamalia Semenenanjung Kampar yang belum lama ini diterbitkan.
Tahun lalu, tim RER ikut serta dalam kegiatan 8th Asian Wetland Symposium di Jepang, dan Prayitno ikut membuat poster bertajuk ‘Keanekaragaman Hayati Semenanjung Kampar’ sedangkan Iqbal memberi paparan tentang ‘Status Mentok Rimba di Semenanjung Kampar’.
Lihat Laporan Kemajuan RER 2017 di sini.