Maret 26, 2021
Tanggal 20 Desember 2020 merupakan puncak dari upaya bersama yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk mengembalikan seekor Harimau Sumatra betina bernama Corina kembali ke habitatnya di hutan rawa gambut Semenanjung Kampar. Artikel ini merupakan pengalaman dari Ahli Ekologi RER, Prayitno Goenarto yang terlibat langsung dalam upaya tersebut.
Pengalaman pertama saya dalam pelepasliaran harimau merupakan proses belajar kilat mengenai pelepasliaran satwa liar. Sebelum terlibat, saya tidak terlalu banyak mengetahui tentang seekor Harimau Sumatra yang diselamatkan dari jerat di Semenanjung Kampar pada Maret 2020 karena saya saat itu sedang menyelesaikan pendidikan S2 di luar negeri.
Saat kembali ke Indonesia, saya baru menyadari bahwa harimau bernama Corina tersebut akan menjadi bagian penting pekerjaan saya selanjutnya.
Saya mulai terlibat ketika proses sudah berjalan, sehingga saya harus segera melanjutkan dan menyelesaikan semua prosedur yang dibutuhkan untuk proses pelepasliaran Corina. Prosedur ini termasuk menyelesaikan analisis spesies mangsa lokasi pelepasliaran, pengujian kalung Global Positioning System (GPS) hingga nantinya pemasangan kalung tersebut, yang akan membawa saya sangat dekat dengan Corina.
Analisis Spesies Mangsa
Sekembalinya saya untuk bekerja di RER pada bulan Agustus 2020, saya bertemu dengan seorang rekan kerja baru yang telah melakukan sebagian besar persiapan untuk pelepasliaran Corina, termasuk melaksanakan survei persepsi masyarakat, menghadiri konsultasi forum ahli harimau dan membuat garis besar rencana pelepasliaran.
Setelah itu, dengan bantuannya, saya belajar menggunakan aplikasi statistik yang rumit untuk melanjutkan dan menyelesaikan studi analisis spesies mangsa harimau berdasarkan data kamera jebak yang kami kumpulkan.
Seminggu kemudian, saya baru mengetahui bahwa dia akan melanjutkan studi S3 ke luar negeri sehingga saya harus segera mempercepat pemahaman saya terhadap rencana pelepasliaran dan menyelesaikan apa yang sudah dimulai.
Sebelum melepasliarkan Corina, kami harus mengidentifikasi lokasi yang tepat. Dengan beragamnya jenis habitat di Semenanjung Kampar, kami perlu mengetahui kecukupan mangsa harimau di lokasi tersebut, dengan cara mengidentifikasi dan memonitor spesies mangsa melalui bukti langsung dan tidak langsung.
Semenanjung Kampar merupakan hutan rawa gambut tropis dataran rendah dengan lanskap beragam yang terdiri dari hutan rawa gambut campuran, hutan riparian, hutan tanaman industri, dan hutan dengan tiang tinggi dan rendah yang menjadi habitat bagi berbagai macam spesies mangsa harimau.
Empat spesies mangsa utama adalah Kera Ekor Panjang, Beruk, Kancil dan Babi Berjanggut. Untuk memonitor keberadaan spesies mangsa, kami memasang jaringan kamera jebak dalam sembilan buah sel berukuran 1 km x 1 km. Hasilnya cukup menggembirakan karena kami berhasil mendeteksi keberadaan keempat spesies mangsa utama tersebut.
Hal ini kemudian diperkuat oleh jejak babi yang ditemukan di sepanjang Sungai Serkap oleh ahli riset dari Universitas Gadjah Mada (UGM) saat melakukan verifikasi lapangan pada 28-30 September 2020.
Pertemuan Pertama dengan Corina
Dengan waktu pelepasliaran yang terus mendekat, saya mendapat kesempatan untuk berjumpa langsung dengan Corina di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatra Dharmasraya (PR-HSD), Sumatra Barat. Perjalanan lintas provinsi dari Pangkalan Kerinci, Riau dengan kondisi jalan yang bergelombang dan berliku mengharuskan kami untuk bermalam.
Setiba di lokasi, kami bertemu dengan tim dokter hewan dan tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA Riau) untuk mendapatkan informasi mengenai proses pemulihan Corina dan kondisi terakhirnya. Setelah berdiskusi santai, kami akhirnya diijinkan untuk bertemu dengan Corina.
Perasaan saya campur aduk mengingat besarnya usaha yang telah dan akan dilakukan seperti persiapan lokasi, pemantauan dan pengecekan peralatan sebagai persiapan untuk pelepasliaran Corina. Kami diajak melewati jalan setapak berlumpur dan melewati dua kandang besi, dimana terlihat dua ekor Harimau Sumatra muda, sebelum kami akhirnya sampai di lokasi yang terdapat dua kandang terbuka berukuran besar di masing-masing sisinya.
Di seberang kandang nampaklah Corina yang mempertahankan sifat liarnya dan selalu menghindari perjumpaan dengan manusia. Sesekali dia mengaum, memberitahukan bahwa kami terlalu dekat dengannya.
Pemeriksaan saat itu menunjukkan bahwa rehabilitasi selama 5 bulan dan perawatan tak kenal lelah dari tim dokter hewan PR-HSD telah memulihkan kaki kanannya yang terluka.
Pengujian Kalung GPS Corina
Selain mengkaji titik pelepasliaran, kami juga perlu untuk memastikan kalung GPS yang akan dipasangkan kepada Corina bekerja dengan baik.
Kalung GPS akan memberikan pemahaman baru mengenai pola aktivitas dan jangkauan teritori Harimau Sumatra yang dilepasliarkan. Kalung GPS yang akan digunakan terdiri dari dua komponen utama yaitu pemancar sinyal GPS dan pemancar sinyal Very High Frequency (VHF).
Komponen GPS bekerja secara otomatis dan dapat diatur jeda waktu pengiriman sinyalnya sehingga kami akan mendapatkan posisi harimau secara berkala. Sedangkan pemancar sinyal VHF memungkinkan kami untuk mendeteksi keberadaan harimau secara manual pada batas jarak tertentu di lapangan dengan menggunakan alat penerima sinyal VHF. Kalung GPS ini didatangkan ke Riau setelah melalui perjalanan yang sangat panjang dari Afrika Selatan.
Sejauh ini, Harimau Sumatra yang dilepasliarkan dengan memakai kalung GPS dilakukan di hutan tanah mineral. Oleh karena itu, pemakaian kalung GPS untuk Corina sangat menarik mengingat pelepasliarannya akan dilakukan di hutan rawa gambut dataran rendah.
Hutan di Semenanjung Kampar adalah hutan rawa gambut dengan vegetasi yang cukup rapat, memiliki tingkat kelembapan udara yang tinggi dan terdiri dari beberapa variasi tipe habitat. Oleh karena itu kami harus menguji penerimaan sinyal kalung GPS untuk memastikan alat tersebut bekerja sebagaimana diharapkan.
Cara untuk menguji kalung GPS cukup rumit karena kami harus mengatur pengiriman koordinat setiap 30 menit. Kami menguji kalung GPS di enam lokasi berbeda pada tiga jenis habitat yang ada di Semenanjung Kampar, yaitu hutan dengan areal terbuka, hutan tanaman industri, dan hutan alam.
Di setiap lokasi, kami melakukan pengujian sinyal di lima titik yang terpisah sejauh 200 meter di jalur segaris, yang bersisian dengan kanal atau jalan untuk memudahkan proses identifikasi lokasi pada peta geografis (georeferencing). Kami juga mengambil koordinat dengan alat GPS genggam sebagai pembanding data dari kalung GPS.
Pengujian menunjukkan hasil yang cukup baik dengan rataan transmisi sinyal lebih dari 80%.
Selain sinyal GPS, kami juga menguji sistem telemetri VHF di lokasi habitat yang terbuka maupun yang tertutup vegetasi. Dari hasil pengujian, kami mengetahui jarak sinyal VHF dapat terdeteksi maksimal antara 500 m hingga 800 m. Artinya bila nanti kami harus mendeteksi Corina di lapangan, sistem VHF memberikan jangkauan lebih dari 500m untuk mendeteksi keberadaannya.
Setelah melaporkan pengujian ini kepada BBKSDA Riau, proses pemindahan Corina ke kandang habituasi di Semenanjung Kampar mulai dipersiapkan.
Pemindahan Corina dan Pemasangan Kalung GPS
Melalui upaya bersama yang luar biasa, Corina akhirnya berhasil diterbangkan dengan helikopter dari Dharmasraya ke kandang habituasinya di Semenanjung Kampar hanya dalam waktu beberapa jam. Yang lebih mengesankan adalah pemindahan ini dilakukan tanpa harus membiusnya.
Kandang habituasi memberikan Corina waktu untuk menyesuaikan diri kembali dengan kondisi hutan rawa gambut. Berada di kandang ini juga memungkinkan dia untuk beradaptasi dengan bau, suara, dan kondisi iklim baru setelah menghabiskan waktu beberapa bulan di Dharmasraya yang beriklim lebih sejuk.
Kandang habituasi dibagi menjadi tiga ruang, harimau ditempatkan di ruang kedua sehingga tim kerja dapat berada di ruang pertama. Antar ruang ditutupi dengan terpal untuk menghalangi pandangan, tim kerja hanya bisa mengamati Corina melalui sebuah jendela yang dapat dibuka tutup.
Setelah beberapa hari menyesuaikan diri, saatnya memasangkan kalung GPS untuk Corina. Saya dipercaya untuk memasang kalung tersebut ke leher Corina karena saya yang mempelajarinya sedari awal dan mengujinya sejak kalung tersebut pertama kali sampai di Riau.
Sambil memegang kalung GPS, saya menunggu dari jarak beberapa meter saat tim BBKSDA Riau melakukan proses pembiusan Corina dari sela-sela jeruji kandang.
Setelah berhasil dibius, saya diberikan izin oleh tim dokter hewan PR-HSD dan BBKSDA Riau untuk masuk ke ruang kedua kandang habituasi Corina. Hati saya berdegup kencang. Saya sangat gugup karena ini adalah kali pertama saya berada di kandang yang sama dengan seekor harimau liar.
Di dalamnya, kami mencium bau daging busuk dari bangkai-bangkai ayam yang berserakan. Dan di tengah bau menyengat ini, Corina terbaring tenang di lantai kandang.
Wajahnya ditutup dengan handuk lembap selagi beberapa jenis obat menjaganya tetap tenang dalam kondisi terbius. Dengan waktu yang terbatas, dan kemungkinan yang mengerikan akan bangunnya harimau seberat lebih dari 80 kg, kami bergegas mengukur lingkar lehernya. Setelah memotong kalung GPS di tanda terpendek, kami menyadari bahwa kalung ini masih terlalu renggang sehingga dapat jatuh terlepas atau tertarik yang dapat mencekik Corina.
Kami sudah mengantisipasi kemungkinan ini dengan membawa bor tangan. Kami kemudian membuat lubang baru untuk mengencangkan kalung di posisi yang tepat. Untungnya, meskipun suara bor cukup keras, Corina tidak terbangun.
Setelah memeriksa kembali, kami dan seluruh tim akhirnya yakin bahwa kalung GPS telah terpasang dengan baik. Saya bersama dengan tim non-dokter hewan lalu keluar dari kandang.
Perasaan lega menghampiri di saat kami berjalan kembali ke kamp untuk mulai memonitor pengiriman sinyal kalung GPS yang telah terpasang.
Waktu Pelepasliaran
Segera setelah pemasangan kalung, kami baru menyadari tidak ada transmisi sinyal yang keluar dari kandang Corina saat hendak mengubah pengaturan. Kami dihadapkan pada dua kemungkinan: kandang yang terbuat dari besi mengganggu transmisi sinyal kalung GPS atau kalung GPS tersebut mengalami kerusakan.
Membius kembali Corina dan mengganti kalung GPS dengan unit cadangan tidak memungkinkan karena resiko kesehatan yang cukup tinggi. Selain itu, sulit untuk menunda waktu pelepasliaran yang tinggal tiga hari lagi.
Oleh karena itu setelah terus berpikir sampai larut malam dan konsultasi dengan tim dokter hewan dan software engineer, kami memutuskan untuk menguji kemungkinan pertama dengan meletakkan kalung GPS cadangan di ruang pertama kandang habituasi.
Setelah mengaturnya untuk mengirimkan sinyal dengan interval 30 menit selama semalaman, kami menyadari bahwa transmisi kalung GPS sangat buruk.
Mengingat kalung GPS Corina diatur untuk mengirimkan sinyal setiap 6 jam, hal ini berarti kami hanya akan menerima empat transmisi per hari.
Kami semua sepakat bahwa mengingat kondisi saat ini dan tantangan yang ada, kami akan mengikuti waktu pelepasliaran yang sudah ditetapkan sebelumnya dan berharap mendapatkan transmisi sinyal segera setelah Corina dilepasliarkan.
Proses pelepasliaran dilakukan dengan menggunakan mekanisme katrol, dimana sebuah pintu besi akan ditarik ke atas oleh tali katrol sehingga Corina bisa keluar dari kandang habituasinya.
Prosesi pelepasliaran Corina yang dipimpin oleh Bapak Ir. Wiratno, M.Sc. selaku Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK-RI) bersama dengan pimpinan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA Riau), Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatra Dharmasraya (PR-HSD), Grup APRIL dan Restorasi Ekosistem Riau (RER) dilakukan secara bersama-sama dengan menarik tali sehingga pintu kandang Corina terbuka.
Corina langsung berlari kencang melalui jalur yang sudah disiapkan sebelumnya, dan hanya dalam beberapa detik sudah hilang ke dalam hutan. Momen puncak dari upaya bersama pemerintah, organisasi konservasi yang didukung pihak swasta selesai dalam sekejap mata. Corina telah bebas.
Beberapa hari kemudian, sebuah titik kecil muncul di layar peta dari perangkat lunak yang digunakan untuk memonitor sinyal dari kalung GPS Corina. Titik koordinat pertama dari GPS Collar Corina berhasil diterima dan terbaca di peta..
Penulis: Prayitno Goenarto, Ahli Ekologi RER
***
Restorasi Ekosistem Riau (RER) menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas kepercayaan dan kerja sama yang luar biasa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK-RI), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA Riau), Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatra Dharmasraya (PR-HSD) sehingga Corina kini dapat kembali hidup liar di alamnya di Semenanjung Kampar, Riau
#karenakonservasitakmungkinsendiri