Januari 17, 2018
Kawasan hutan restorasi dan konservasi RER adalah kawasan yang sulit dijelajahi, bahkan untuk jagawana kami yang paling berpengalaman sekalipun. Di kawasan ini tidak ada jalan setapak sekalipun, dengan vegetasi yang begitu tebal dan permukaan tanah yang terendam air yang menyulitkan.
Bayangkan menempuh perjalanan dengan medan seperti itu sambil membawa karung pasir seberat 30kg di punggung.
Seperti itulah tantangan yang tiap hari dihadapi oleh tim kami yang ditugaskan untuk menutup kanal, yang kadang harus menggotong banyak karung berat menempuh perjalanan jauh untuk membangun bendungan yang menjadi bagian penting dalam pekerjaan mereka.
Sebelum RER dibentuk, banyak bagian di Semenanjung Kampar digunakan oleh pelaku pembalakan liar untuk membuka kanal agar mereka mudah memindahkan kayu hasil tebangan. Setelah selesai, kanal tersebut akan dibiarkan, yang lama-kelamaan membuat tinggi muka air menjadi turun dan membuat tanah gambut menjadi kering. Tanah yang kering membuat karbon terlepas ke atmosfer seiring dengan terurainya materi organik yang menjadi tempat penyimpanannya, dan membuat area tersebut menjadi rawan terbakar.
Menutup kanal merupakan bagian penting dalam upaya restorasi RER, demikian penjelasan Ronyi Las Silaen, Head of Forest Protection. “Menutup kanal merupakan salah satu kunci memulihkan dan mengelola tingkat kelembapan gambut, yang juga akan menjadi sumber air bagi satwa liar di hutan.”
Pasir dan kayu didatangkan ke titik terdekat yang memiliki akses menggunakan truk, dan pasir lantas diisikan ke karung, yang mana per orang mampu memenuhi 30 karung per hari. Dari titik itu sudah tidak ada lagi jalan terbuka, dan bagian tersulit dari perjalanan ke dalam hutan harus ditempuh dengan berjalan kaki.
“Kami harus menggotong barang-barang tersebut di punggung selama belasan kilometer untuk menuju kanal yang akan disumbat, karena kanalnya terletak jauh di dalam hutan dan tidak mungkin dicapai dengan truk,” ujar Ronyi.
Selain harus memanggul beban seberat 30kg per orang, tim ini juga mengalami kesulitan dalam mengarungi area untuk mencapai tujuan mereka, karena sebagian besar area hutan yang harus dilalui ialah lahan basah. Untuk area tertentu yang sangat terpencil, perjalanan yang ditempuh bisa makan waktu lebih dari satu hari, yang artinya tim harus bermalam di tengah hutan. “Pembangunan sebagian bendungan memakan waktu berminggu-minggu – akan tergantung pada seberapa besar kanalnya dan seberapa jauh perjalanan ke tengah hutan yang harus dilalui”.
“Kadang kami perlu bantuan dari petugas jagawana yang lebih mengenal hutan,” ujar Ronyi.
Dalam membangun tanggul, kanal terbuka harus terlebih dahulu diidentifikasi, dan perlu dilakukan survei topografi secara mendetail untuk memeriksa kemiringan tinggi muka air (leveling) sehingga panjang dan kemiringan tiap kanal bisa ditentukan.
Berdasarkan survei ini, tim water management kami bisa mengidentifikasi lokasi pasti untuk membangun bendungan, serta berapa banyak bendungan yang diperlukan untuk menaikkan muka air.
Akan tetapi, tim juga perlu menunggu cuaca terbaik untuk menutup kanal, karena hujan akan membuat sebagian area tergenang.
“Sulit untuk melakukan pekerjaan kami ketika areanya tergenang, namun kami juga tidak mau menunggu sampai areanya kering,” ujar Ronyi.
Deretan undakan setinggi 50cm, mirip dengan terasering, dibangun untuk menaikkan muka air dengan perlahan, membasahi gambut dan mengembalikannya ke kondisi alami.
“Untuk menyumbat kanal kecil, kami memerlukan setidaknya 50 karung pasir, dan material ini bisa bertahan 10 tahun,” ujar Ronyi.
Sejauh ini , Ronyi dan timnya telah berhasil membangun 23 bendungan untuk menyumbat delapan kanal yang panjangnya mencapai lebih dari 27km. Namun ini bukan berarti prosesnya sudah selesai. Tim ini masih harus mengunjungi kembali area tersebut untuk memantau dampak penyumbatan kanal tersebut pada hutan, sekaligus memantau keutuhan bendungan itu sendiri.
“Khususnya ketika hujan deras, kami perlu memastikan karung-karung pasir yang kami susun masih ada,” ujar Ronyi.