Juni 25, 2018
Mari kita berkenalan dengan Trenggiling Sunda (Manis javanica), atau juga dikenal sebagai Trenggiling Peusing.
Satwa mamalia anggota famili Manidae (tenggiling/trenggiling) ini merupakan satwa asli di Asia Tenggara. Selain di Indonesia, satwa ini dapat dijumpai di Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Satwa ini merupakan salah satu dari 73 spesies mamalia yang telah teridentifikasi di kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER) di Semenanjung Kampar .
Trenggiling Sunda oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) digolongkan sebagai satwa dengan status konservasi Kritis (CR) dan merupakan salah satu dari dua mamalia dengan status yang sama yang telah teridentifikasi di RER.
Tubuh Trenggiling Sunda dipenuhi sisik keras berbahan keratin dengan bentuk seperti lempengan pipih yang berdukung, yang membentuk 20 persen dari bobot tubuhnya. Satwa ini merupakan mamalia satu-satunya yang diketahui memiliki sisik semacam ini.
Trenggiling akan menggelung badan mereka menjadi bentuk seperti bola ketika mereka merasa terancam, dan akan menyembunyikan wajahnya di bawah ekornya. Sisiknya yang berdukung akan menjadi perisai untuk menghalau pemangsa – khususnya efektif bila sisiknya tajam.
Trenggiling Sunda memiliki penglihatan yang buruk, namun penciuman yang tajam. Satwa ini memiliki cakar yang tebal dan kuat yang digunakan untuk menggali tanah untuk mencari sarang semut atau untuk mengoyak gundukan rayap. Trenggiling bisa menyempitkan lubang telinga dan lubang hidungnya agar semut dan rayap tidak masuk ke dalam tubuhnya saat ia makan.
yang bisa menjulur hingga 25 cm untuk menangkap dan mengumpulkan semut dan rayap. Trenggiling mengonsumsi hingga 200.000 semut dalam sehari, yang artinya mengonsumsi lebih dari 70 juta serangga per tahun.
Trenggiling Sunda menyukai habitat yang berhutan – menghabiskan sebagian besar hidupnya di pepohonan – dan juga di perkebunan, seperti perkebunan karet atau sawit. Satwa ini menandai wilayahnya dengan air kencing atau tinja, atau dengan bau-bauan lain yang ia keluarkan dari kelenjar khusus.
Diketahui merupakan satwa nokturnal (satwa malam) dan pemalu, Trenggiling Sunda adalah satwa soliter/penyendiri, yang hanya berpasangan bila kawin. Trenggiling betina biasanya melahirkan satu atau dua anak saja per tahun.
Bayi trenggiling lahir dengan sisik yang lunak, yang akan segera berubah menjadi keras. Anak trenggiling akan digendong induknya di bagian punggung, tepatnya di bagian atas pangkal ekor, sampai menjadi lebih besar dan mandiri.
Trenggiling Sunda adalah satwa yang dilindungi berdasarkan aturan hukum di Indonesia, dan masuk dalam daftar Appendix I CITES (Convention on the International Trade of Endangered Species), suatu perjanjian internasional antarnegara yang mengatur perdagangan internasional spesies satwa dan tanaman liar. Spesies dalam CITES I merupakan spesies yang terancam punah.
Ancaman terbesar terhadap Trenggiling Sunda ialah manusia yang berburu dan melakukan perburuan liar untuk memperjualbelikan satwa ini di tingkat internasional – pada kenyataannya, trenggiling dianggap merupakan satwa yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal di dunia. Satwa ini dicari terutama karena sisik dan dagingnya, karena adanya keyakinan yang tidak benar bahwa memakan satwa ini akan bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Ancaman yang berasal dari manusia terhadap spesies ini begitu meluas, sehingga diadakan Hari Trenggiling Sedunia mulai tahun 2012 sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kondisi buruk yang melanda spesies ini, yang terus diperingati tiap tahun pada hari Sabtu ke-3 di bulan Februari.