Januari 30, 2019
Mari kita berkenalan dengan King Cobra (Ophiophagus hannah) ular yang masuk dalam famili Elapidae.
Reptil ini menyukai tinggal di dataran rendah yang padat, dengan danau dan sungai. Ular King Cobra merupakan satwa endemik di subkontinen India dan Asia Tenggara, di negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Nepal, Singapura, dan Vietnam, serta di Cina bagian selatan.
King Cobra merupakan salah satu dari 107 spesies reptil dan amfibi yang telah teridentifikasi di kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER).
Dengan status konservasi Rentan (VU) yang diberikan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature), King Cobra merupakan satu dari 48 spesies yang terancam di tingkat global yang terdapat di RER. Hewan ini merupakan satu-satunya spesies ular yang merupakan spesies yang terancam di tingkat global di kawasan ini.
Status Rentan (VU) yang disandang King Cobra terutama disebabkan oleh makin hilangnya habitat satwa ini akibat hancurnya hutan. Ular ini juga ditangkap untuk diambil dagingnya, kulitnya, dan digunakan sebagai bahan obat tradisional.
King Cobra umumnya lebih besar dibandingkan dengan ular kobra lainnya. Dengan panjang tiga hingga empat meter dan bobot sekitar 6 kg, ular ini merupakan ular berbisa terbesar di dunia.
King Cobra merupakan spesies dimorfik, yaitu memiliki dua rupa yang berbeda, dengan ular jantan berukuran lebih besar dibandingkan ular betina – hal yang tidak lazim di kalangan ular, karena biasanya ular betina lebih besar dibandingkan dengan ular jantan.
Perbedaan lain antara King Cobra dan ular kobra Asia lainnya ialah adanya garis berbentuk V di bagian leher King Cobra, dan bukannya bentuk seperti satu atau dua mata seperti yang biasa tampak di jenis kobra lainnya. King Cobra juga dapat diidentifikasi berdasarkan sepasang tudung bersisik besar yang ada di kepalanya.
Kulit King Cobra berwarna zaitun hijau gelap atau coklat, dengan belang melingkar berwarna hitam, putih, atau kuning, serta sisik yang mulus. Akan tetapi, di rawa gambut Kampar, warna King Cobra konsisten coklat hingga hijau zaitun.
Seperti ular lainnya, King Cobra mengukur letak mangsanya dengan menggunakan lidahnya yang bercabang untuk mengindra partikel bau, mengirimkan informasi kimia ini ke reseptor sensoris yang ada di langit-langit mulutnya.
Ditambah dengan penglihatannya yang tajam, kecerdasan, serta kepekaannya pada getaran, King Cobra mampu melacak dan mendeteksi mangsa yang bergerak dari jarak hampir 100 meter.
King Cobra menyerang mangsanya dengan cara menggigit dan diikuti dengan memasukkan bisa – menggunakan taringnya untuk menyuntikkan bisa ke tubuh mangsa. Dalam bahasa Melayu, ular ini dinamai ‘ular upeh, yang artinya ular berbisa.
Dalam sekali serangan, ular ini mampu menggigit beberapa kali, yang mengakibatkan rasa sakit yang sangat parah, pandangan menjadi buram, vertigo/pusing, lengar/pening, dan lemas/lumpuh, dan dapat berujung pada kondisi jantung gagal memompa darah, kegagalan napas, dan kematian.
Kematian bisa terjadi dalam waktu 30 menit setelah King Cobra menyuntikkan bisanya. Ular kobra ini kemudian akan membuka lebar rahangnya untuk menelan utuh mangsanya.
Sesuai nama genus yang disandangnya dari bahasa Yunani, “Ophiophagus”, yang artinya “pemakan ular”, King Cobra banyak memangsa ular lainnya – biasanya ular tikus, piton/sanca, dan beludak – dan kadang memakan satwa vertebrata lainnya seperti kadal, burung, dan binatang pengerat.
Akan tetapi, begitu berhasil makan mangsa besar, King Cobra mampu hidup berbulan-bulan tanpa perlu makan lagi, karena laju metabolismenya yang lambat.
King Cobra umumnya lebih suka menghindari konfrontasi dan akan berupaya melarikan diri bila merasa terusik. Akan tetapi ular ini bisa menjadi sangat agresif bila terus-menerus diganggu, mengeluarkan desis yang lebih terdengar seperti geraman.
Ular King Cobra betina adalah orang tua yang penuh dedikasi, dan akan sungguh-sungguh menjaga sarangnya dan telurnya dari predator. Racun dalam bisa bayi ular King Cobra sama mematikannya dengan bisa ular dewasa.