Mei 08, 2020
Burung pelatuk merupakan salah satu kelompok burung yang banyak dijumpai di dunia, dengan lebih dari 180 spesies di seluruh dunia.
Dan, di hutan rawa gambut Restorasi Ekosistem Riau saja terdapat 12 spesies burung pelatuk. Spesies ini meliputi Caladi Tikotok (Hemicircus concretus), Pelatuk Raffles (Dinopium rafflesii), dan Pelatuk Ayam (Dryocopus javensis).
Semua burung pelatuk masuk dalam famili Picidae, yang terdiri atas sekelompok burung pengicau yang tinggal di pohon. Meski kebanyakan spesies burung pelatuk tinggal di hutan atau di daerah yang penuh pepohonan, ada beberapa spesies yang tinggal di area tanpa pohon, seperti misalnya di gurun pasir atau di lereng bukit berbatu.
Warna bulu burung pelatuk yang paling umum dijumpai ialah hitam, putih, coklat, merah, dan kuning, meskipun sebagian bisa berwarna oranye, hijau, dan keemasan. Warna-warna yang lebih cerah cenderung lebih umum dijumpai pada spesies burung pelatuk di wilayah tropis, yang mencerminkan habitat di sekitar mereka yang bisa jadi dipenuhi tanaman dan bunga-bungaan berwarna cerah.
Banyak burung pelatuk memiliki kaki zigodaktil – kaki dengan dua jari kaki mengarah ke depan dan dua lainnya ke belakang. Kaki ini, dengan cakarnya yang tebal dan bulu ekor yang kaku, merupakan ciri yang membantu burung pelatuk untuk menjepit dan mencengkeram batang pohon dalam posisi vertikal.
Sifat burung pelatuk yang paling membedakannya ialah tentu saja kegemarannya mematuk, atau mengetuk-ngetuk, pohon. Burung pelatuk akan melakukan gerakan mematuk-matuk untuk mendapat makanan, menarik perhatian pasangan, menetapkan wilayah, dan berkomunikasi secara umum.
Burung pelatuk jantan dan betina kerap mematuk-matuk pohon dengan menggunakan paruhnya yang kokoh untuk mengetuk kayu pohon. Paruh burung ini memiliki ujung yang tajam seperti alat pahat yang secara alamiah tetap terjaga ketajamannya karena kegemarannya mematuk.
Burung pelatuk bisa mematuk hingga 20 kali per detik, atau 8.000 s.d. 12.000 ketukan per hari. Akan tetapi burung ini tidak merasa terganggu akibat patukan cepat yang dilakukan, karena tempurung kepalanya yang keras, yang memiliki struktur sedemikian rupa sehingga bisa menyebarkan daya tumbuk ketukan, serta otak dengan penyangga yang sangat baik sehingga mampu melindungi bagian tubuh tersebut dari dampak tumbukan yang berulang-ulang akibat sering mematuk.
Burung pelatuk biasanya memakan serangga dan satwa invertebrata lainnya yang hidup di bawah kulit kayu dan di batang kayu (itulah sebabnya burung ini sering mengetuk-ngetuk pohon). Makanan mereka terdiri dari semut, rayap, kumbang, ulat, laba-laba, satwa pengerat berukuran kecil, dan biawak, yang mereka peroleh dari pohon hidup ataupun pohon mati.
Burung pelatuk juga bisa makan buah-buahan, kacang-kacangan, dan getah pohon. Inilah saatnya ketika lidah mereka yang panjang dan tajam akan berguna, karena memudahkan mereka menyesap getah dan serangga.
Dengan terus mencari makan di pohon, burung pelatuk diketahui membantu pohon tetap sehat dan terjaga dari serangan serangga seperti misalnya kumbang bubuk kayu.
Burung pelatuk juga bersarang di lubang/celukan pada pohon, baik di batang pohon atau di dahan. Kadang, sarang yang tidak dipakai kemudian digunakan oleh spesies satwa liar lain sebagai rumah atau sarang.
Seperti halnya anggota famili Picidae lainnya, burung pelatuk biasanya adalah satwa monogami: sepasang burung pelatuk akan bekerja sama membangun sarang mereka, mengerami telur, dan membesarkan anak burung.
Dalam sekali bertelur, biasanya terdapat dua hingga lima butir telur, yang akan dierami selama sekitar dua minggu sebelum menetas. Diperlukan waktu sekitar 18 s.d. 30 hari sebelum anak burung siap meninggalkan sarang dan mengurus dirinya sendiri.
Burung pelatuk ialah satu-satunya burung di famili burung yang memiliki sejumlah kecil spesies yang benar-benar menghadapi risiko kepunahan. Beberapa spesies menghadapi ancaman kepunahan karena rusaknya habitat mereka akibat kegiatan deforestasi atau pembukaan lahan di dunia.