Februari 13, 2019
Sebelum tahun 2016, Henri biasanya merasa frustrasi ketika mencoba menangkap ikan di sungai yang berada di kawasan Restorasi Ekosistem Riau (RER) di Semenanjung Kampar .
Menangkap ikan merupakan mata pencahariannya, namun ia kerap tidak menjumpai ikan di sungai. Tanpa hasil tangkapan, ia khawatir bagaimana caranya memperoleh pendapatan.
Akan tetapi, yang tidak disadari oleh Henri bahwa dulu ia dan teman-temannya sesama nelayanlah menyebabkan turunnya populasi ikan.
Tanpa memahami bahaya yang ditimbulkan, para nelayan dulunya menggunakan racun dan setrum listrik untuk membunuh dan menangkap ikan – praktik yang juga ilegal.
“Mereka tidak tahu bahwa racun yang digunakan mencemari ekosistem sungai, sehingga ikan yang masih tersisa di sungai tersebut akan sulit bertahan hidup karena kualitas air sungai yang buruk karena tercemar,” ujar Edy Suprayitno, Estate Manager RER Semenanjung Kampar.
Para nelayan juga dulu memperburuk situasi dengan membakar pandan atau rasau yang tumbuh di pingggiran sungai.
“Rasau ini cukup banyak dan kadang menghalangi akses nelayan ke sungai, membuat perahu mereka kesulitan melewatinya. Alhasil nelayan membakar tanaman tersebut agar bisa mengakses sungai dan ikan,” ujar Edy.
Membakar rasau menyebabkan ikan menjauh dari pinggiran sungai dimana mereka biasanya mencari makan atau bernaung yang padahal disitulah tempat para nelayan biasa memasang perangkap ikan.
Semua metode ini memang membuat mereka bisa menangkap ikan sekali banyak dalam waktu singkat namun justru ini mendorong penangkapan ikan berlebihan, sedangkan para nelayan kurang memahami bahwa ikan memerlukan waktu untuk berkembang biak.
Ketika hal ini terjadi, mereka tidak punya pilihan selain menunggu sampai sungai pulih dan ikan kembali, lalu siklus yang tidak sehat ini kembali berulang.
Akan tetapi, hal berubah sejak RER hadir dan mulai membantu para nelayan di tahun 2016.
“Kami mengedukasi mereka tentang bahayanya menggunakan setrum, racun, dan api untuk menangkap ikan, dan betapa perbuatan tersebut bisa berdampak negatif bagi populasi ikan,” ujar Edy.
Sejauh ini, RER telah bekerja sama dengan 21 nelayan, memberikan peralatan memancing, jala, dan perangkap ikan baru, beserta mesin kapal untuk memudahkan pekerjaan mereka.
“Para nelayan juga telah mengetahui bahwa api yang mereka gunakan untuk membakar rasau akan membahayakan satwa yang hidup di RER, termasuk yang terancam punah.
“Sejak tahun 2015, tidak ada lagi pembakaran di sini,” ujar Edy.
Meskipun belum mengevaluasi peningkatan pendapatan bulanan para nelayan, tim RER telah menelusuri jumlah ikan yang ditangkap dan mencatat adanya kenaikan signifikan.
Di tahun 2017, para nelayan menghasilkan 3.737 kg ikan. Dan di tahun 2018 angka ini meningkat dua kali lipat mencapai 7.459 kg ikan.
Biasanya, satu kilogram ikan segar dijual di pasar dengan harga rata-rata mencapai Rp30.000 s.d. Rp60.000, sedangkan satu kilogram ikan yang sudah dikeringkan bisa mencapai harga Rp150.000.
RER akan terus membantu para nelayan dalam meningkatkan mata pencaharian mereka melalui penandatanganan nota kesepahaman pada bulan Februari 2019 untuk memperkokoh komitmen tersebut.