Februari 07, 2017
SEMENANJUNG KAMPAR – Tim dari Fauna & Flora International serta Restorasi Ekosistem Riau (RER) ikut serta dalam Sensus Burung Air Asia 2017 (AWC/Asian Waterbird Census). Di Indonesia, survei global ini diselenggarakan secara nasional oleh Wetlands International – Program Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Sensus AWC ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Januari di kawasan Asia Pasifik, dan berjalan bersamaan dengan Sensus Burung Air Internasional yang mencakup wilayah Afrika, Eropa, Asia Tengah dan Barat, serta Amerika Latin. Sejak tahun 1987, sensus AWC mengumpulkan informasi tentang populasi burung air, memantau status dan kondisi lahan basah, dengan tujuan menumbuhkan minat masyarakat pada burung air, lahan basah, serta upaya konservasinya. Sensus ini meliputi 6.100 lokasi di 27 negara dan memberikan banyak informasi pada berbagai lembaga dan peneliti untuk mendukung beberapa prakarsa, antara lain Konvensi Ramsar tentang Lahan Basah, Program Spesies Global pada IUCN, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD/Convention on Biological Diversity), serta program Daerah Penting bagi Burung (IBA/Important Bird Area) yang diusung oleh Birdlife International.
Spesies burung air seperti misalnya kuntul, kokokan, bangau, bebek, pecuk/kormoran, perandai merupakan spesies yang bergantung pada ekologi lahan basah. Sensus tahunan ini terbuka bagi siapa pun yang tertarik mengamati burung air, dan diikuti beragam peserta, mulai dari pengamat burung amatir, pencinta alam, ahli burung, dan peneliti.
Sebanyak 13 personel gabungan dari FFI dan RER melakukan survei burung air pada pagi dan sore hari pada tanggal 18-19 Januari, yang diikuti dengan sesi debrifing di malam hari. Sebanyak 13 peserta dibagi menjadi dua kelompok: Kotlyn Pasaribu memimpin tim yang beranggotakan Made, Asrudi, Iqbal, Kristian, Tiurma, dan Adi Kristanto (ahli burung dari FFI), sedangkan Prayitno Goenarto memimpin tim yang beranggotakan Muhammad Iqbal, Ronyi, Mahendra, Suyoto, dan Ganjar Cahyadi dari FFI.
Pengamatan burung dimulai pada pukul 07.30 pagi dan dilakukan oleh kedua kelompok, dengan mencakup observasi di sepanjang Sungai Kampar, dusun Sangar, Tanjung Pandak, dan Sungai Turip. Kelompok 2 melakukan survei di daerah danau, wilayah pertanian, dan di sepanjang sungai Serkap. Survei dilakukan dengan berjalan kaki, dengan mobil, dan dengan perahu. Tiap tim dibekali dengan teropong, peralatan GPS (Global Position System), panduan lapangan, buku catatan, dan kamera. Secara umum, habitat yang berpotensi besar mendukung burung air asli dan burung air yang bermigrasi tidaklah mudah diakses dan kerap memerlukan transportasi air. Meski demikian, peserta survei dapat melakukan jelajah hingga sekitar 20% dari area konsesi RER di Semenanjung Kampar.
Pada malam hari, kedua tim berkumpul untuk mengikuti sesi debrifing setelah makan malam. Tiap kelompok secara internal membahas spesies burung air dan jumlah burung yang tercatat, serta meninjau kembali sketsa dan foto yang dibuat saat survei. Sketsa dari lapangan merupakan alat belajar yang penting karena merupakan impresi pertama seorang pengamat terhadap seekor burung dan dapat memuat penanda utama yang bisa mengarah pada identifikasi spesies.
Sesi ditutup dengan paparan tentang temuan tiap tim serta rangkuman singkat terkait tips identifikasi burung baru. Ganjar dari FFI menyatakan, “Keikutsertaan RER dalam sensus AWC tahun 2017 dapat makin membuka wawasan tentang banyaknya burung air yang ditemukan di kawasan RER, khususnya bagi anggota tim RER yang masih baru dalam kegiatan pengamatan burung.”
Jumlah keseluruhan burung air yang dapat dihitung selama survei mencapai 200 ekor, terdiri dari tujuh spesies. Burung cangak merah (Ardea purpurea) merupakan spesies yang paling umum dijumpai, sebanyak 142 ekor.
Selain 200 burung air tersebut, sebanyak 64 spesies yang bukan burung air juga teramati, dan ini turut mencakup spesies burung ikonis seperti misalnya cekakak belukar (Halcyon smyrnensis), elang ikan kepala kelabu (Ichthyophaga ichthyaetus), dan rangkong badak (Buceros rhinoceros).
Menurut ahli burung dari FFI, Adi Kristanto, dari tujuh spesies burung air yang diamati, tidak ada yang saat ini masuk dalam daftar spesies dilindungi oleh Pemerintah RI. Akan tetapi, kegiatan ini merupakan langkah baik pertama dalam memantau mutu lahan basah di RER dengan menggunakan kehadiran burung air sebagai indikator biologi atas mutu habitat.
“Melalui pengumpulan data secara rutin, RER dapat mengevaluasi kualitas lahan basah di kawasannya. Saya harap di sensus AWC tahun 2018, RER akan dapat mengamati adanya spesies burung air lain, seperti misalnya mentok rimba dan bangau dari keluarga Ciconiidae yang merupakan spesies yang terancam punah dan dilindungi oleh pemerintah Indonesia,“ ujar Adi pada hari terakhir survei.